Puasa dan Kejujuran | Dalih Effendy
Puasa dan Kejujuran
Oleh Dr. Drs. H. Dalih Effendy, SH. MESy.[1]
Berlebaran belum tentu beridul Fitri
Kumandang alunan suara takbir, tasbih, tahmid dan tahlil terus menggema di malam takbiran. Dengan diiringi suara beduk bertalu talu sangat nikmat direspon oleh qalbu karena adanya rasa bahagia. Orang nonmuslim pun sesungguhnya tidak ada yang merasa sakit telinganya ketika mendengar alunan takbir yang identik dengan suara adzan dari pengeras suara dari berbagai masjid, malah alunan taqbir di Kota Pontianak dibarengi dengan dentuman suara “Meriam Karbit” yang disulut disepanjang sungai Kapuas terasa lebih indah bukan hanya didengar tetapi ingin disaksikan dari dekat. Bertakbiran dengan diiringi keramain Meriam Karbit dalam suasana malam takbiran di berbagai kota di Kalimantan Barat merupakan bentuk ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas kemenangan besar yang diperoleh setelah menjalani ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan penuh. Firman Allah swt, dalam al-Qur’an Surat Albaqarah ayat 185 “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbiran) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda: “Hiasilah hari rayamu dengan takbir.”
Banyak orang setelah bertakbiran malam hari, paginya berdatangan ke masjid- masjid atau tanah lapang untuk melaksanakan shalat idul fitri. Shalat yang hanya ada satu tahun sekali pada setiap tanggal 1 Syawal ini banyak diikuti oleh umat Islam. Pesertanya bukan hanya mereka yang taat beribadah menjalani puasa Ramadhan, tetapi diikuti pula oleh mereka yang tidak berpuasa bahkan oleh mereka yang sering meninggalkan shalat alias “Islam KTP”. Pada hal kelompok mereka seperti ini meskipun datang ke tempat shalat idul fitri dengan pakaian serba baru malah duduknya di barisan (shaf) paling depan, sesungguhnya mereka itu bukan merayakan idul fitri melainkan hanya ikut berlebaran. Beridulfitri adalah perayaan yang diikuti oleh mereka yang telah bertobat selama menjalani ibadah puasa dan ibadah lainnya sepanjang bulan Ramadhan, dirinya yakin taobat (istigfarnya) diterima Allah swt, mereka kembali kepada kesucian (idul fitri) maka dirayakan dengan penuh suka cita di hari raya idul fitri.
Kebahagiaan hakiki adalah mana kala bisa membahagiakan orang lain
Setelah satu bulan penuh kita menunaikan ibadah puasa dan atas karunia Allah swt, pada hari raya idul fitri selayaknya kita rayakan dengan penuh suka cita, maka sudah sepantasnya pada hari yang bahagia ini kita bergembira, merayakan sebuah momentum kemenangan dan kebahagiaan berkat limpahan rahmat dan maghfiroh Allah swt. Ketika idul fitri kita rayakan, jangan hanya merasakan kebahagiaan yang semu, tetapi raihlah kebahagiaan yang hakiki. Kebahagiaan yang semu adalah ketika kebahagiaan kita rasakan karena kita mengenakan pakaian serba baru, menghidangkan makanan serba lezat, memiliki perabot rumah tangga serba cantik, menghiasi rumah dengan warna cat serba indah, ketika kita mudik membawa kendaraan baru meskipun masih kredit, Itu semua kebahagiaan yang semu. Kebahagiaan yang hakiki adalah kita berbahagia ketika kita bisa membahagiakan orang lain. Betapa bahagianya jiwa kita, ketika kita merayakan idul fitri sudah membelikan pakaian baru untuk kedua orang tua kita, Betapa bahagianya perasaan kita. ketika kita merayakan idul fitri sudah membelikan daging, opor ayam, ketupat dan aneka makanan untuk mertua kita. Betapa bahagianya diri kita, ketika kita merayakan idul fitri sudah berbagi dengan anak yatim disekeliling kita, sudah memberi sedekah dengan kaum du’afa, janda miskin yang ada disekitar kita. Itulah kebahagiaan yang hakiki di hari nan fitri. Sedekah yang utama adalah kepada kaum kerabat, lalu kepada anak yatim baru kepada fakir miskin, Firman Allah swt. QS Al- Isra : 26 Artinya : “Dan berikanlah haknya (sedekah) kepada kerabat dekat, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, janganlah menghambur hamburkan hartamu secara boros”.
Sungguh teramat ironis, ketika anak-anak kita bergembira dengan pakaian serba baru, makanan serba lezat, uang baru untuk jajan disakunya sangat banyak, sementara disampingnya ada anak yatim yang tidak mendapatkan kebahagian apa-apa karena ia tidak lagi punya ayah bunda, ia tidak punya apa-apa, pakaian yang ia kenakan, makanan yang ia makan karena adanya belas kasih dari orang lain. Maka termasuklah kita mendustakan agama apabila perhatian dan santunan kepada mereka kita abaikan. Ingin bahagia maka bahagiakan pula anak yatim disekitar kita.
Kejujuran sebagai modal membangun bangsa
Dengan berpuasa kita dilatih untuk jadi orang jujur, Walaupun kita haus dan lapar dan air hampir sampai di tenggorokan pada saat kita berkumur waktu berwudhu di siang hari, ternyata kita keluarkan lagi tidak ada yang kita telan. Pada hal jangankan orang yang jauh, orang yang sebelah kanan kiri kita saat berwudhu itupun tidak ada yang tau jika ada air yang kita telan. Tetapi itu tidak kita lakukan, Kenapa ? karena kita jujur, memang benar tidak ada orang yang lihat, memang betul teman kanan kiri kita tidak ada yang tahu, tetapi Allah maha melihat dan maha mengetahui. Inilah puasa melatih diri kita untuk jadi orang Jujur;
Orang jujur saat ini saat ini sudah menjadi makhluk langka. Di mana mana sungguh sangat sulit mencari orang jujur. Di pasar banyak penjual dan pembeli yang tidak jujur karena mengurangi timbangan, takaran dan literan. Di pusat berbelanjaan banyak dijual barang kadaluarsa, barang mengandung lemak babi, mengandung formalin, zat pemutih dan sebagainya, akibatnya saat ini kita mudah sekali terkena berbagai penyakit, itu karena ulah pedagang dan pengusaha yang tidak jujur. Minyak goreng beberapa bulan terakhir ini menghilang sekalinya keluar harganya membumbung tinggi (sangat mahal), itu karena ketidakjujuran pejabat kementrian perdagangan dan pengusaha kartel. Di berbagai kantor pemerintahan dan swasta sulit mencari pejabat dan pegawai yang jujur. Pada hal ketika dilantik telah bersumpah atas nama Allah untuk menjadi pejabat atau pegawai yang jujur namun setelah menjabat lupa akan janjinya, akibatnya korupsi merajalela, mulai dari uang seseran, uang pungli sampai kepada memakan uang rakyat atau uang negara, mulai dari korupsi kecil-kecilan sampai kepada korupsi kelas kakap, mulai dari korupsi sendiri-sendiri sampai kepada korupsi berjamaah. Buktinya apa ?, Coba lihat KPK kerap kali melakukan OTT terhadap pejabat, pengusaha dan pegawai yang korupsi. Tidak sedikit bupati, walikota, gubernur yang masuk penjara, ada juga beberapa orang mentri, anggota DPR, para pengusaha bahkan aparat penegak hukum, yang masuk hotel prodeo, bahkan ada pula orang yang bergelar ulama bersanding ustadz juga masuk bui. Inna lillahi wainna ilaihi rajiun. Di rumah tangga juga sangat sulit mencari suami yang jujur atau isteri yang jujur, banyak para suami diam-diam menikah lagi, sehingga rumah tangganya berantakan karena isteri menggugat cerai, ini karena suami tidak jujur. Sebaliknya, banyak para suami menceraikan isterinya karena kedapatan berselingkuh dengan laki-laki lain akibat kecanduan media sosial. Bukan cuma itu, banyak hakim, jaksa, polisi dan pengacara yang tidak jujur. Padahal mereka adalah para penegak hukum yang wajib memiliki sifat yang jujur. Bagaimana keadilan bisa ditegakkan jika penegak hukumnya saja tidak bisa berlaku jujur.
Ibadah puasa yang telah kita jalani identik dengan pelatihan diri untuk bersikap jujur, puasa bukan ibadah raga melainkan ibadah hati, hanya orang yang berpuasa dan Allah swt sajalah yang tahu bahwa dirinya sedang puasa sehingga Allah swt langsung menyandarkan kepada –Nya dan Dia sendiri yang akan membalasnya, sebagai mana dalam hadits Qudsi :
“Setiap amalan anak cucu Adam akan dilipatgandakan pahalanya, satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah Azza Wajalla berfirman : Kecuali puasa sungguh dia bagian Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sifat jujur adalah tanda bukti keimanan seseorang karena orang mukmin pasti jujur, andaikan ia tidak jujur maka imannya pasti keluar. Dalam suatu riwayat pernah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw. “Apakah mungkin seorang mukmin itu kikir ? Rasulullah saw menjawab: “mungkin saja”, Apakah mungkin seorang mukmin bersifat pengecut ?, Rasulullah saw menjawab: “mungkin saja”, Sahabat bertanya lagi, Apakah mungkin seorang mukmin berdusta (tidak jujur) ? Rasulullah saw menjawab : “Tidak” karena saat ia berbuat tidak jujur imannya itu keluar dari qlbunya. (HR. Imam Malik dalam Al Muwattho). Kemudian Rasulullah saw bersabda : “ Kamu sekalian wajib jujur karena kejujuran akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan akan membawa kepada Surga” (HR. Ahmad). Menjadi orang jujur adalah perintah Allah swt, sebagai mana firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 119. “Hai orang –orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur”.
Hanya ada satu kata bahwa sifat jujurlah yang menyelamatkan bahtera kebahagiaan keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Kejujuran pulalah yang menyelamatkan seorang muslim dari azab api neraka di kemudian hari. Kejujuran juga merupakan tiang agama, sendi akhlak,dan pokok kemanusiaan manusia. Tanpa kejujuran agama tidak lengkap, akhlak tidak sempurna, dan seorang manusia tidak sempurna menjadi manusia. Di sinilah urgensinya kejujuran bagi kehidupan. Rasulullah saw. pernah bersabda : “Tetap berpegang eratlah pada kejujuran, walau kamu seakan melihat kehancuran dalam berpegang teguh pada kejujuran, tapi yakinlah bahwa di dalam kejujuran itu terdapat keselamatan “ (HR. Abu Daud).
Sungguh sangatlah berarti dan memberi bekas puasa kita, karena dapat membentuk mental kita menjadi orang-orang yang jujur dan pada gilirannya akan mudah menemukan orang-orang yang jujur di sekitar kita. Yang jadi pedagang, daganglah dengan jujur. Yang jadi pengusaha berusahalah dengan jujur, yang jadi pegawai bekerjalah dengan jujur, yang jadi guru didiklah anak-anak dengan jujur, yang jadi pemimpin pimpinlah rakyat dengan jujur, yang jadi hakim putuskan perkara dengan jujur, yang jadi jaksa, jadi polisi, jadi pengacara tegakkan hukum dengan kejujuran. Begitu pula yang jadi suami pergaulilah isteri dengan jujur, yang jadi isteri taatilah suami dengan penuh kesetiaan dan kejujuran. Penting juga yang jadi orang tua, didiklah anak-anak dengan penuh kejujuran. Besarkan anak-anak wahai para orang tua dengan jujur, berilah konsumsi makanan anak-anak yang halal dan baik. Sebab makanan yang halal akan melahirkan anak-anak yang jujur, makanan yang bergizi akan membentuk anak-anak yang pinter. Kader yang bener dan Pinter inilah yang dibutuhkan untuk membangun bangsa. Semoga puasa kita tahun ini dapat melahirkan karakter insan yang jujur lagi pinter, karakter manusia yang bener lagi pinter. (Def)
*) Hakim Tinggi pada PTA Pontianak Kalimantan Barat (Disarikan dari Materi Khutbah Idul Fitri 1443 H.)