Artikel

Kewenangan pengadilan agama dalam penyelesaian Ekonomi syariah terhadap pencantuman Klausula arbitrase dalam akad murabahah | Desiyanti, S.H., M.H.

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM PENYELESAIAN

EKONOMI SYARIAH TERHADAP PENCANTUMAN

KLAUSULA ARBITRASE DALAM AKAD MURABAHAH

 

Pada dasarnya hakim diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk mengadili dan memutus setiap sengketa yang dihadapkan kepadanya, termasuk sengketa kontrak. Namun demikian, meskipun hakim memiliki kewenangan untuk mengadili dan memutus sengketa kontrak, tentunya kewenangan tersebut bukan tanpa batas. Karena apabila kontrak dapat ditafsirkan secara bebas dan tanpa batas, maka kontrak tidak lagi memiliki kepastian hukum. Hukum kontrak sendiri didasarkan pada prinsip-prinsip yang menegaskan kekuatan mengikat kontrak. Prinsip-prinsip ini dikenal sebagai asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) dan asas daya mengikat kontrak (pacta sunt servanda). Kedua asas ini merupakan landasan utama bagi kebebasan dan kepastian hukum dalam kontrak, yaitu kebebasan untuk membuat atau tidak membuat kontrak, dan kepastian hukum untuk memaksakan kewajiban bagi pihak-pihak yang telah membuat kontrak.

Secara yuridis, dasar kewenangan hakim dalam mengadili sengketa diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Selanjutnya dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, mengatakan bahwa “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari’ah”.

Namun demikian, dalam konteks sengketa kontrak ekonomi syariah, kewenangan hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus sengketa kontrak tidaklah absolut. Kewenangan hakim dibatasi oleh ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, yang menyebutkan bahwa “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase”. Bahkan di dalam Pasal 11 ayat (1) mengatakan bahwa “Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri”. Sehingga pada ayat (2) juga mengatakan bahwa “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini”.

Praktek arbitrase telah lama ada dan hidup dalam masyarakat sejak berabad abad yang lalu. Dalam Islam arbitrase dikenal sebagai tahkim, yaitu pengangkatan seorang atau lebih sebagai wasit atau juru damai oleh pihak yang bersengketa, guna menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan secara damai.[1] Meskipun praktek arbitrase tidak berubah dari masa ke masa, namun definisi atau pengertian mengenai arbitrase masih ditemukan banyak versi dan pendapat meskipun perbedaan pendapat tersebut tidak sampai menghilangkan makna arbitrase sebagai alternative penyelesaian sengketa melainkan justru memberikan konsep yang berbeda-beda mengenai arbitrase.

Secara etimologi, kata arbitrase berasal dari bahasa latin yaitu dari kata arbitrare yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan”. Secara terminologi, ada banyak pendapat mengenai arbitrase, diantaranya disampaikan oleh Prof. Subekti bahwa arbitrase adalah “penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih”.

Sedangkan H. M. N. Purwosutjipto yang menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase yang diartikan sebagai suatu “peradilan perdamaian, di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak”.[2]

Adapun Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, telah mendefinisikan arbitrase sebagai “cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.

Pengertian yang dimuat oleh Undang-undang tersebut telah merepresentasikan bentuk arbitrase modern dengan ciri menggunakan asas kitabah atau perjanjian tersebut dibuat secara tertulis. Dalam era modern, terutama dalam hal perjanjian bisnis, asas kitabah menjadi suatu keniscayaan menurut hukum. Karena itulah keberadaan pasal-pasal dalam perjanjian menjadi sangat urgen, salah satunya adalah pasal-pasal yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa dengan cara damai atau biasa disebut klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase.

Kata klausul bermakna ketentuan tersendiri dari suatu perjanjian, yang salah satu pokok atau pasalnya diperluas atau dibatasi,  sehingga klausul arbitrase dapat diartikan sebagai ketentuan tersendiri dari suatu perjanjian mengenai penyelesaian sengketa dengan jalan arbitrase atau suatu klausul dalam perjanjian antara para pihak yang mencantumkan adanya kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul antara para pihak melalui proses arbitrase.

Sedangkan di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 telah memuat definisi tentang perjanjian arbitrase yaitu “suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”.

Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pada dasarnya perjanjian arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:

  1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de Compromitendo) atau,
  2. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).

Dalam perjanjian perdata secara umum maupun perjanjian dengan menggunakan prinsip syariah, bentuk klausula arbitrase (Factum de Compromitendo) lebih banyak digunakan sebagai pilihan penyelesaian sengketa, karena pencantuman cara penyelesaian sengketa yang dibuat sebelum timbulnya sengketa dianggap lebih efisien menanggulangi permasalahan dibanding membuat perjanjian tersendiri setelah timbulnya sengketa. .[3]

Dalam perjanjian atau akad perbankan syariah, klausul arbitrase yang digunakan biasanya sangat sederhana, misalnya dengan memuat pasal tentang penyelesaian sengketa sebagai berikut :

  1. Dalam hal terjadi perbedaan pendapat atau penafsiran atas hal-hal yang tercantum di dalam Surat Perjanjian ini atau terjadi perselisihan atau sengketa dalam pelaksanaan-nya, para pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara musyawarah untuk mufakat.
  2. Apabila musyawarah untuk mufakat telah diupayakan namun perbedaan pendapat atau penafsiran, perselisihan atau sengketa tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak, maka para pihak bersepakat, dan dengan ini berjanji serta mengikatkan diri satu terhadap yang lain, untuk menyelesaikannya melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) menurut prosedur beracara yang berlaku di dalam Badan Arbitrase tersebut.
  3. Para pihak sepakat, dan dengan ini mengikatkan diri satu terhadap yang lain, bahwa pendapat hukum (legal opinion) dan/atau putusan yang ditetapkan oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) tersebut bersifat final dan mengikat (final and binding).

Dasar hukum diperbolehkannya pencantuman klausul arbitrase termuat dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara melalui perdamaian atau arbitrase”. Bentuk klausul arbitrase dalam sebuah akad dengan prinsip syariah biasanya diutamakan terlebih dahulu penyelesaian dengan cara syuura atau islah. Namun setelah upaya itu dilakukan ternyata belum tercapai kesepakatan maka langkah berikutnya yang dimuat klausul adalah penyelesaian sengketa dengan jalan arbitrase.[4]

Apabila klausul arbitrase tersebut telah termuat dalam suatu perjanjian maka konsekuensinya setiap sengketa yang terjadi dari perjanjian tersebut harus diselesaikan melalui badan arbitrase Basyarnas yang dimaksud. Dengan demikian kewenangan secara absolut menjadi milik Basyarnas, karena para pihak tidak dibenarkan lagi menyelesaikan sengketa tersebut melalui badan peradilan negara yaitu pengadilan agama. Sebab menurut hukum, dengan adanya klausul arbitrase dalam perjanjian tersebut maka hilanglah hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa tersebut melalui lembaga peradilan negara.[5]

 Dengan adanya klausul arbitrase, pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase pun bersifat final dan mengikat (final and binding), oleh karenanya pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pokok akad (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap akad. Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.

Dengan demikian, dapat dikatakan keberadaan klausul arbitrase dalam suatu akad syariah telah membatasi wewenang penyelesaian sengketa syariah oleh Pengadilan Agama dan menjadikannya yurisdiksi absolut badan arbitrase syariah yang ditunjuk. Sehingga apabila para pihak tetap mengajukan penyelesaian sengketa tersebut kepada lembaga peradilan negara (Pengadilan Agama) maka Pengadilan Agama yang bersangkutan harus menyatakan tidak berwenang mengadilinya, Pengadilan wajib mengakui dan menghormati wewenang dan fungsi arbiter. Hal ini sesuai dengan prinsip limited court involvement yang termuat dalam Undang-undang Arbitrase di mana lembaga peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase dan wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase.

Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi, “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase”. Penegasan lebih lanjut terdapat pada Pasal 11 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi :

  1. Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
  2. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan ikut campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.

(desi_iskandar_040410)

[1] Gemala Dewi dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 91.

[2] H.M.N. Poerwosutjipto, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Cetakan 3, (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 1.

[3] Ahmad Mujahidin, Kewenangan dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 40.

[4] Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2008), hlm. 345.

[5] Cik Basir, Beberapa Hal Penting Yang Harus Dipahami Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Ditulis dalam Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan, edisi 72, Jakarta, 2010, hlm. 155.